Idzni Inside

Just a little thing of my life

Alay dan Musik Melayu

Alay. Anak Layangan. Istilah ini lagi nge-tren nih jaman sekarang. Kalo kamu pake baju yang item semua, terus rada buluk, pake celana yang meruncing alias pensil, nah, nggak usah heran kalo banyak orang (remaja-remaja sih kebanyakan) yang nyebut kamu ”alay”.
Ih alay ihiw...

Anak Layangan. Alay. Yaah... kalo diliat dari ciri-cirinya (kalian tau laah), sebenernya aku juga nggak terlalu suka sama anak-anak kaya gitu. Tapi yang mengusik pikiran aku itu adalah... lagu-lagu melayu.

Ada apa dengan lagu-lagu melayu? Ya... dari sekian banyak ciri-ciri alay itu, salah satunya, yang ditaruh di urutan pertama penulisan ciri-ciri alay itu adalah ”suka lagu-lagu melayu”. Hey, hallooo~... lagu-lagu melayu katamu?

Sekarang ini lagi gencar-gencarnya media-media massa masang iklan “Stop Global Warming” dan “Cintailah Produk-Produk Indonesia”. Cintailah produk-produk Indonesia… Lagu melayu juga masuk ke dalam daftar produk-produk Indonesia kan?

Nah, kalau begitu, kalau kalian membenci alay, yang di dalamnya terdapat orang-orang yang menyukai lagu-lagu melayu, berarti kalian juga benci lagu-lagu melayu, begitu? Memang apa yang salah dari lagu melayu?

ST12, Kangen Band, Hijau Daun dan lain-lain. Ya. Mereka menganut aliran musik Melayu. Musik yang mendayu-dayu dan penuh cengkok yang khas. Di awal kemunculannya, banyak sekali orang-orang yang kontra dengan mengatakan bahwa musik mereka jelek lah, nggak pantes buat masuk dapur rekaman lah, nggak berseni lah, ya banyak deh. Sedangkan jenis musik yang diusung mereka adalah musik Melayu. Musik Melayu! Salah satu kebudayaan negeri kita sendiri!

Aku sebenernya nggak pro dan nggak kontra mengenai bagus tidaknya band-band tersebut. Biasa saja. Musik mereka easy listening memang. Dan lirik lagunya... tidak terlalu bagus. Biasa saja. Menyukai dan tidak menyukai sesuatu memang merupakan hal yang wajar. Tapi hal ini –musik Melayu dan ”alay-isme”- sedikit banyak menyentil telinga saya di saat kata-kata ”cintailah produk-produk Indonesia” sedang gencar dipublikasikan.

:::

Nyampe ya, maksudnya? Menurut aku, nggak usah lah kita menjauhi dan mengolok-olok orang-orang yang menyukai musik Melayu. Itu bukan hal yang salah kan, menyukai? Dan karena musik Melayu juga merupakan kebudayaan Indonesia, aku menekankan kata JANGAN disini. Jangan membenci musik Melayu. Bersikaplah biasa saja.

(Tapi mengenai ciri-ciri alay yang lain, yang nulisnya pake huruf gede kecil, itu sih aku juga agak geli ngeliatnya :), tapi sekali lagi, bersikaplah biasa saja hehehe)

Apalah

Aku nggak tau apa yang terjadi sama diriku sekarang, tapi aku merasa sangat terganggu karena perubahan itu.

Sejak kapan aku menjadi orang yang mudah sekali terpancing emosinya? Sejak kapan kata-kata yang menusuk hati itu sering sekali keluar melalui mulut dan tulisanku?

Ada yang bisa menjelaskan padaku kenapa semua ini terjadi? Apakah ini normal-normal saja? Apakah semua remaja melalui suatu tahapan seperti ini?

Setiap kali ”monster”ku itu menunjukkan taringnya ke orang banyak, aku pasti akan langsung menyesalinya. Tapi aku tau rasa sesal saja tidak akan cukup bagi orang yang tersakiti. Maaf pun tak cukup.

Egoku sangat tinggi sampai aku merasa aku tak pantas untuk jabatan apa pun, tak pantas untuk tanggung jawab apa pun. Aku merasa gagal menjadi seseorang yang menyimpan seekor monster dalam hatinya, aku tak bisa mengikatnya dan menjaganya.

Aku merasa amat sangat berdosa telah melukai hati banyak orang. Satu, dua... tak terhitung. Setiap kali aku bertemu seseorang, baik secara langsung mau pun tidak langsung, pasti walau pun sedikit aku menyakiti hati mereka. Bahkan rasanya aku ingin membekap mulutku sendiri, mengikat tanganku sendiri, agar tak ada yang terluka lagi.

Jadi salahkah bila aku memutuskan untuk menjadi pendiam? Bila bercakap-cakap seperti orang kebanyakan bisa membuat orang lain sakit hati, bukankah lebih baik aku diam saja? Tapi jalan yang kuambil itu menurut orang lain merupakan kekuranganku. Aku kurang aktif, katanya. Siapa yang mau untuk jadi pasif? Mungkin orang lain mau tapi aku tidak. Apakah orang yang aktif harus selalu ceriwis, harus selalu berbasa-basi dan tertawa-tawa meski tak ada yang lucu? Tidak bolehkah orang yang aktif itu menjadi pendiam?

Semua yang kutulis hanya pertanyaan. Aku bingung. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Jika meminta pengertian sudah sering kali kuucapkan, sekarang aku tak mau memohon untuk segelas pengertian. Aku hanya ingin perubahan.

Tapi aku tak tahu bagaimana caranya.

Si Biru Jelek

And the result had come.

Rank 4 di kelas dan 34 se-angkatan.

Man~… buruk banget kinerja aku semester ini. Nilai UAS aku sih lumayan, yang bikin buruk itu nilai tugas. Sumpah aku mualessss banget ngerjain tugas. Kalo diinget-inget lagi jadi nyesel. Rasanya ada tangan-tangan gaib yang selalu narik aku ke kasur buat tidur setiap kali ada tugas numpuk di meja. Hahaha...

Bagi rapotnya kemaren, tanggal 24 Desember 2009. Hari yang bersejarah buat aku, karena hari itu hari pertama (dan terakhir!) aku ngabisin 13 ribu buat hal-hal yang nggak berguna sama sekali. Apa aja sih? Sebenernya agak males juga ngerekapnya, tapi hayolah.

Hmm... pertama, Rp 1500,- buat naik angkot D03 ke sekolah. And the disaster began. Pas nyampe di smansa, aku shock (mungkin agak berlebihan, tapi begitulah kenyataannya: aku shock, S.H.O.C.K) pas dikasih tau ortu hasil rapot yang segitu. Si biru jelek itu (baca: rapot) sukses banget bikin aku linglung sepanjang hari.

Setelah tau hasil belajarku itu, aku langsung ke Leader Kids, nge-recycle buku (ngembaliin, baca, minjem lagi) sekalian nungguin Zahra dateng. Zetzetzet... selesai baca (Rp 6500,-), langsung berniat untuk naik angkot S16. Ngapain naik angkot gituan? Mau ke rumah Adzhani. Ya, aku mau maen, janjian sama Ale. Tapi Ale-nya masih di sekolahnya rapat Rohis. Ya udah otakku menyuruhku naik angkot itu bareng Zahra.

Naik angkot S16 lewat jalur wadas karena jalanan masih dicor, makan ongkos Rp 2000,-. Terus aku jalan ke rumah Adzhani. Jalan... jalan... terus *ting!* aku mikir. Ngapain ya, aku ke rumah Adzhani sekarang? Maen? Adzhani-nya kan lagi ngambil rapot. Terus ntar aku mau ngapain? Cengo? ...

AKU LAGI NGAPAIN INI? Aku dimana? Kenapa aku disini? (Apakah aku cantik? J) ... Aku sedikit memperlambat langkahku. Hmm... *ting!* ah, pikiran-pikiran yang tadi hilang gitu aja, dan aku ngelanjutin perjalanan ke rumah Adzhani. Dapat disimpulkan bahwa sepanjang perjalanan kaki ke rumah Adzhani aku melamun. Ya, bengong kaya orang bodoh.

Seperti yang tadi dipikirkan, Adzhani-nya masih di NR ngambil rapot. Ya udah, setelah senyum-senyum sama adiknya Adzhani, aku balik lagi. Jalan lagi keluar, lewat jalan yang tadi. Dan ngelamun lagi. Aku mau pulang aja... Eh, tapi aku haus ini. Mau jajan aja dulu deh.

Lalu aku jajan dimana ya, ... kalo nggak Indomaret ya Alfamart. Tau lah lupa. Harga minumannya Rp 3800,-. Teng teng, pas keluar dari toko itu, brrrt brrrt... handphone aku bergetar. Ada SMS nih. Aku buka. Dari Onca.

”Ni, Jani lagi di nr. Ga tau baliknya kapan. Kalo mau ke nr, dateng aja.”

Lagi-lagi otakku berdesing tanpa hatiku perintahkan. Ya, aku mau ke NR aja. Akhirnya aku naik angkot 110. Sialnya, angkot itu nggak lewat jalan biasa, yang kalo lurus... aja dia nyampe ke sepan NR dengan mudah. Si angkot 110-biru jelek itu lewat wadas, yang berarti untuk mencpai NR aku harus naik angkot D03 sekali lagi. Hah... ya sudahlah...

Sambil minum jus leci yang tadi dibeli, aku mikir lagi. Aku dimana? Ngapain aku naik angkot ini? Laah... ini kan jalanan yang tadi aku lewatin juga. Aku ke wadas lagi ini? Ahh...

Cting, keluarlah uang Rp 1500,- dari dompet biruku. Lalu aku jalan ke ujung Gang Haji Rasidi. Naik angkot D03 deh. Ctung, keluar lagi Rp 1000.

Pas nyampe di NR, ga tau lah mau ngomong apa. Tadi si Onca bilang ga tau kapan mau pulang, lah ini pas aku nyampe dia pulang. Dan Adzhani juga demikian. Maka, tinggallah Idzni, Lube, Adel, Odah dan Bela ga tau mau ngapain. Aku dongkol dalem hati.

Ternyata si Lube mau ke rumah Adzhani juga. Ya udah aku ikut naik motor dia. Pas nyampe ruma Adzhani (lagi), aku langsung makan sama Adzhani dan Lube. Aneh banget ini. Ternyata di rumah Adzhani aku cuma makan doang. Sisanya ya baca komik, ngobrol-ngobrol kaya biasa, nothing special. Terus Ale dateng, dan kita terus baca komik sampe selesai Ashar.

Hari apaan tuh. Nggak fokus. Waktu naik motor pas pulang aja aku nggak bisa fokus. Haha... dasar biru jelek!

The Name I Loved Translation - Onew SHINee

Both hands trembles... as I remembered the cold memories of love
Now it is getting weirder
I don't wish to reject you, but I just know that...

No matter how close we are
I know that I can't love you anymore
I can't miss you... Waiting for you makes me tired
I can't endure anymore, and I can't realize it

The name I loved once in this life
Has becoming further and further away from me
I am writing your name on a paper, and forever kept it in my heart
From that day I only realized that I will only loved you forever
Love that can't be together can also be known as LOVE

I cant handle the love memories and feelings alone
I can't start this, I can only miss you secretly in my heart
My heart only left your body fragrance that I missed and always loved

The name I loved once in this life
Has becoming further and further away from me
I am writing your name on a paper, and forever kept it in my heart
From that day I only realized that I will only loved you forever
Love that can't be together can also be known as LOVE

Thousands of times remembering the first time our eyes met
And stolen an edge of my heart without noticing

The name I loved once in this life
Has becoming further and further away from me
I am writing your name on a paper, and forever kept it in my heart
From that day I only realized that I will only loved you forever
Love that can't be together can also be known as LOVE

Walau pun maksud lagu ini aku udah nggak ngerasain lagi, yaa maksudnya itu dulu lah... udah lewat. Tapi ini lagu berarti banget ya. Apalagi Onew yang nyanyiin... kyaa sunguh amat sangat berarti deh jadinya hohohoho...

Untuk seseorang yang telah menjadikan lagu ini mengena di hatiku, terimakasih atas satu tahun yang telah kamu berikan untukku. Sakit satu tahun itu. :D

Kesimpulan (Sepihak) tentang Diriku


I must pretend to be okay, although I am very bad, I am very sad, I am very hurt.


Aku harus terus tersenyum manis, walau pun sesungguhnya badai sedang berkecamuk di hati ini.


Takdir macam apa ini, jika ini memang takdir? Apakah bibirku sudah siap untuk selalu tersenyum, apakah hatiku sudah siap untuk menutupi hal yang seharusnya aku perlihatkan kepada semua orang? Haruskah?


Jika memang itu yang terbaik, akan ku lakukan. Tetapi jika hal itu untuk selamanya, sanggupkah?


Jika memang seorang noona, oppa, orang yang lebih tua... LEADER, harus berbuat begitu, bukankah itu yang dinamakan keegoisan? Leader memang harus rela berkorban untuk dongsaeng-nya, untuk orang yang dipimpinnya, untuk yang lebih muda. Tapi apakah leader harus selalu mengorbankan perasaannya untuk pretend to be alright, act as if nothing happen? Apakah leader harus selalu pura-pura tersenyum, dan selalu mengalah?

Jika memang itu takdirku (dan jawabannya adalah ya, itu adalah takdirmu) untuk menjadi seorang leader, apakah jalan yang harus ditempuh untuk menjadi seorang leader itu amat terjal, sehingga aku tak tahu perasaan apa yang sedang bermain di hatiku pada saat aku tersenyum palsu? Dan sekarang aku bertanya, apakah perasaan ini menyembunyikan keegoisanku? Keegoisan yang pernah mencemarkan masa lalu? Mengapa harus disembunyikan?


Ya... sebenarnya tak perlu kutanyakan lagi mengapa. Karena aku sudah tahu jawabannya dengan jelas. Tapi tak bolehkah sedikiiit saja kutampakkan perasaanku? Hanya sedikit. Aku hanya memohon - seperti orang bodoh - kepada hatiku sendiri.


Tidak... sedikit pun kau tak boleh menampakkannya. Ini untuk kebaikanmu. Jika ingin semuanya berjalan seperti biasa, kebahagiaan menyebar dimana-mana seperti biasa, kau harus menenggelamkan kemarahanmu, segala perasaan yang membanjiri hatimu. Segala kebenaran yang ingin kau ungkap pun, ahh maaf, sebaiknya jangan kau buka. Kau seorang leader Idzni, yang dituakan. Ingat itu.


Maka dengan susah payah aku menjalaninya. Menenggelamkan sampah itu, menyembunyikan perasaan cemas akan kebohongan, dan mengikat erat-erat bayangan kemarahan yang tak sanggup aku bawa setiap hari. Kutinggalkan itu semua di sudut kamarku, di dalam sebuah buku tulis biasa. Memasuki kamarku berarti menjadi diriku sendiri, hanya di tempat itulah aku adalah diriku – tanpa kebohongan.


Jika ini adalah perjalanan menjadi leader yang sesungguhnya, perjalanan menuju kedewasaan... aku menginginkan tangisan, tapi sial, dia tak mau keluar. Ini berat sekali. Sungguh berat. Tak bisakah kita bersama-sama saling membantu untuk melewati masa-masa ini? Saling memberi pengertian, melihat jauh ke lubuk hati untuk menilai seseorang. Agar tak hanya aku sendirian dengan perasaan yang tertindas.


Maaf... bukannya aku menginginkan dongsaeng-ku mengalami hal yang pahit yang sama denganku, onni-nya. Aku hanya menginginkan pengertiannya. Betapa sulitnya menjadi aku. Yang harus memelas, memohon kepada bagian dari diriku sendiri untuk secuil keegoisan.


Keegoisan. Ha ha... jika aku memang kejam (dan kau tak tahu kan kalau aku sebenarnya amat sangat kejam?) aku akan menamparmu dengan kata-kataku saat ini juga. Aku akan menuntut sebuah keadilan! Aku akan menghajarmu dengan kenyataan tentang dirimu. Aku akan menghabisimu dengan keyakinanku bahwa kaulah yang patut dipersalahkan. Karena KAU, kurang ajar terhadap leadermu ini. Jika aku kejam, aku akan berkata ”Berlututlah kau karena akulah leader, yang lebih tua.”


Tapi pikiran-pikiran jahat seperti itu sudah kuikat, kutenggelamkan, layaknya takdirku memberitahuku. Aku memilih untuk jadi pihak yang dipersalahkan, jadi pihak yang tertindas saja. Karena kedua pilihan yang dihadapkan kepadaku memberikan reaksi yang sama: semuanya akan menganggapku jahat, dan memandangku sebelah mata.


Apa ini? Mungkin begitulah pertanyaan yang muncul saat semuanya membaca ini. Aku tak mengerti.


Ya, aku membuatnya agar kau tak mengerti. Agar kau tak tahu. Walau ini ditujukan untukmu, kau tak kan pernah mengerti. Biar hanya aku yang tahu, karena... aku tak boleh menunjukan sedikit saja perasaanku pada siapa pun kan?


::::::::


Zzaaapp! Dengan segala perasaan campur aduk mengenai diriku yang menurut hukum alam dan hukum dunia perkelompokan korea adalah seorang leader, walau pun ruang lingkupnya amat sangat sempit, aku merasa aku bisa mengerti perasaan Leeteuk, leader dari Super Junior.


Dia ingin membuka semuanya tentang dirinya yang sesungguhnya, tentang Park Jung soo, bukan Leeteuk, tapi tak bisa. Dunia secara tidak langsung menginginkan dia untuk terus berakting. Dia merasa lelah tapi pretend to be alright, dengan senyuman, melakukan hal-hal yang dia benci (seperti bangun pagi misalnya). Yahh... postingan ini kesimpulan sepihak dari aku mengenai diriku dan Park Jung soo, tapi aku merasa senasib deh sama dia, sebagai leader. Dan hal ini, masalahku saat ini, konflik batin yang sedang menerjangku saat ini, menghasilkan rasa simpati yang mendalam kepada Leeteuk, yang membuatku semakin mencintainya! (Apaa dah)


Hahahahaaaa... (tertawa setelah sedih-sedih di atas jadi kaya orang yang punya dua kepribadian, tapi entahlah, I must be happy)


Noreul saranghae~ Leeteuk-ssi!

Followers

Bonheur


Welcome!

Annyonghaseyo~! Idzni disini. Ehm... ehehehe... just life up your live with laughing! Ahahahaha...Kpop Clock